Senin, 11 Februari 2013

Asal mula nama WA dan LA


Kita masih mengingat apa yang dikatakan oleh Shacespeare “Apa Arti Sebuah nama”, ungkapan tersebut tidak berlaku bagi kita yang menyatakan diri mengakui Allah SWT sebagai rabbi dan Muhammad SAW sebagai rasulnya. Hal tersebut diperlihatkan pada hadist Rasulullah Muhammad SAW tentang pentingnya pemberian nama yang baik bagi anak-anak muslimin. Dengan hal tersebut maka penyebutan nama untuk penduduk/keturunan masyarakat yang berdiam di Jazirah Muna dan Buton menjadi bermakna lebih ganda dengan menyimpan makna tertentu. Makna yang dimaksud adalah pesan dari tujuan yang diharapkan orang tua mereka dalam menggapai hikmah dalam kehidupan. Setiap kata adalah doa begitu ungkapan yang sering kita dengar. Berikut saya mencoba membuat alur pikir tulisan ini dalam bentuk prolog.
  • Kenapa masyarakat Muna dan Buton bangga menggunakan nama depan La dan Wa dan masih digunakan dalam pergaulan sehari-hari hingga saat ini ???.

Ungkapan kata La dan Wa untuk masyarakat Muna dan Buton telah dipahami oleh sebagian besar masyarakat berasal dari kalimat Tauhid yakni dari “syahadat thain” (ashadualla Illallah illallah) dan diartikan La sebagai kesatuan dari kalimat sahadat (bukan penggalan kata) dan untuk Wa bermakna yang sama untuk kalimat sahadat rasul (Washaduanna Muhammad Darasulullah).
Dengan pemahaman tersebut menyebabkan RASA BANGGA melekat bagi mereka yang menggunakan kata depan nama (La/Wa). Pemahaman konsep tersebut dapat bernilai wajar manakala memang demikian adanya, namun minimal penggunaan kata depan La/Wa menjadi pembeda dengan masyarakat lain di nusantara ini, bahkan pada skala dunia. Namun serangkain pemikiran tersebut mengarahkan kita untuk berpikir (akal) dengan mempertimbangkan rasa (bathin) untuk beberapa hal sebagai berikut :
  • Bagaimana kerangka pikir nama dengan kata depan La/Wa mengambil kata dari kalimat tauhid, padahal para penggunanya (raja-raja) belum mengucapkan kalimat tersebut (belum islam)???. Apakah pendekatan penggunaan kalimat tauhid sebagai kata depan nama (La/Wa) merupakan penyesuaian makna yang terakhir (terbaru) setelah penggunanya beragama islam ??? Lalu bagiamana status raja-raja tersebut yang juga menggunakan kata depan nama mereka dengan kata La/Wa???.
 
  • Mengapa tingkatan kultural penyandang nama La/Wa berada pada tingkatan lebih rendah dibandingkan dengan pengguna nama depan La/Wa+ode ??? Ada makna esistensi  kalimat sahadat menjadi kecil???,
 
  • Bagiamana pula nahu kata La (tidak/tiada) dalam kalimat sahadat ?  Yang mana kata La/Wa yang ditulis tersambung pada kalimat sahadat? Sedangkan aplikasi kata La/Wa dalam penggunaannya nama masyarakat muna dan buton dibuat terpisah atau tersambung dengan nama aslinya (misalnya La Umar/Wa Ike atau Laumar/Waike)
Tiga pertanyaan diatas memberi rana berpikir kita untuk lebih analisis, bukankah ilmu tanpa agama menjadikan kita “goyang” sedangkan agama tanpa ilmu menyebabkan kita menjadi “ambruk”. Semoga saja dua hal diatas membuat kita menjadi manusia yang sebenarnya (memiliki ilmu dan iman).
Terkait dengan hal tersebut, pada aplikasinya penggunaan kata La/Wa menujukkan fenomena yang lebih rancu, beberapa fenomena yang penulis jumpai antara lain;
  • Kata La/Wa digunakan juga oleh masyarakat diwilayah lain di luar Jazirah Muna dan Buton sebagaimana oleh Masyarakat Sangir Talaud, NTT/NTB danKalimantan dan masih banyak lagi suku lain di Nusantara ini yang menggunakan nama mereka dengan kata depan La/Wa. Bukti tersebut dapat dilihat daripenggunaan marga dari tiap keluarga, kisah (epik) sejarah, makam leluhur dll.
 
  • Hal yang unik lagi nama La/Wa khususnya kata depan La juga digunakan sebagaian orang yang berada di Piliphina, Thailand bahkan orang-oarang di Italiadengan bukti yang sama dengan point sebelumnya.
Dengan mencermati kondisi demikian apakah hal yang spesifik dari kata La/Wa bagi orang Muna dan Buton???. Kalau mereka dikaitkan dengan keagamaan yang mereka anut, mungkin saja dapat digeneralisasi bahwa bagi yang beragama islam dapat disandangkan kata La/Wa pada mereka, dan bagimana jika mereka tidak beraga islam ?. oleh karena itu, terkait dengan penggunaan kata “La/Wa” yang masih dikaitkan dengan asal para pengguna nama depan La (orang muna buton saja+beragama islam), penulis menjustifikasikannya sebagai kerangka berfikir yang tidak rasional.

  • Pemaknaan kerangka berpikir dan pemahaman masyarakat dengan penggunaan nama depan La dan Wa dikaitkan dengan sumber asal katanya

Secara garis besar, ada dua pemikiran saudara saya di jazirah muna dan buton yang menjelaskan asal kata depan “La” sebagai berikut :
  • Kata La diambil dari kalimat tauhid (sahadat) “ashadualLa Illallah illallah”,
  • Kata La diambil dari kalimat tahlil “La Ilaha illallah”,
Sedangkan untuk kata Wa, mempunyai asal kata yang sama yakni dari kalima Wa ashadu anna muhammad darasullullah (sahadat rasul).
Berdasarkan penelusuran penulis, ungkapan diatas lebih dominan berkembang dan sangat dipahami oleh saudara saya di Jazirah Buton. Untuk mendudukan arah pemahaman yang lebih rasional, penulis berupaya untuk berhati-hati menguraikannya.
  • Secara individual (person) masing-masing orang berhak untuk memahaminya sebagaimana hal di atas (hak pribadi). Kalau hal ini berlaku, sangat berpotensi simbol kata La/wa dapat berasal dari kalimat lain dengan pemahaman yang lain pula. Kondisi pemahaman tersebut secara sosio kultural berpeluang terciptanya“konflik pemahaman”, manakala masing-masing individu tidak mampu menjelaskan pemaknaan kata La yang dia pahami dengan sumber kata/kalimat rujukan yang berbeda ataupun simbol-simbol lain.
 
  • Pemahaman secara berkelompok (kolektif), pemahaman kearah ini dapat tercapai jika secara kolektif masyarakat ditiap wilayah atau di wilayah yang lebih besar mempunyai pemahaman yang sama terhadap kata “La” yang digunakannya sebagai bagian dari budaya mereka. Penelaahan informasi tentang kata La menjadi kunci untuk menyeragamkan pemaknaan kata “La”. Arahan penelaahan dalam pemaknaan yang bersifat mendasar (makna syariat) menjadi penting sekali dalam mentransfer aliran sejarah/budaya dalam masyarakat, sedangkan pemaknaan sufiisme (makna lebih tinggi) seringkali membuat “multi kutup”pemaknaan. Multinya sudut pandang  mengakibatkan hilang/kaburnya jatidiri yang sebenarnya dan manghasilkan hal yang sama dengan “Taklid buta”.
 
  • Rana pemahaman yang fleksibel; dari dua sumber kalimat yang dirujuk sebagai asal muasal kata La/Wa, bagi penulis menilai  informasi makna tersebut antara lain:
 
  • Pemahaman bebas, merujuk asal sumber kata nama seseorang dengan tidak melupakan esensi sang khaliq. Pada sisi lain penggunaan kata (penggalan) kata akan berbeda makna jika kata itu bendiri sendiri (etimologi), padahah agama islam sangat ketat dalam pembacan kita suci (huruf arab) dengan hukum tajwidnya dll. Pemaknaan makna kata yang diacu tersebut akan menghasilkan makna yang berbias.
 
  • Pemahaman bebas bersyarat, yang penulis maksud adalah penggunaan kata La/Wa tetap memasukkan esensi sang khaliq namun tidak merujuk pada sumber kalimat tauhid. Pemaknaan ini artinya kata La/Wa tidak berasal dari kalimat tauhid, mengingat adopsi katanya  yang tidak sepadan.
 
  • Pemaknaan yang tegas, Kalau kita cermati secara detail, bahwa penggunaan kata La/Wa jauh-jauh waktu telah digunakan sebelum siar islam masuk ke Jazirah Muna dan Buton. Perhatikan nama-nama raja sebelum penyiar islam masuk. Dengan demikian penulis ingin tekankan bahwa kata depan nama (La/Wa) tidak dapat dipadankan atau sumber katanya dari kalimat tauhid.
  • Perkembangan sejarah dalam memahami penggunaan nama depan La dan Wa di Jazirah Muna/Buton

Untuk mahami fenomena diatas maka dilakukan pendekatan sejarah, dari beberapa kajian tentang penggunaan nama depan nama penduduk, memberi kesan yang sama bahwa sapaan keakrabatan dengan penuh rasa hormat/takzim. Nilai-nilai tersebut menjadi dasar penggunaan kata depan, baik yang bersifat sementara ataupun bersifat tetap. Bersifat sementara seperti sapaan “Mas” bagi orang dari Suku Jawa yang sebenarnya hanya sapaan (bukan nama aslinya), sedangkan yang tetap seperti sapaan La/Wa (Muna dan Buton), Cut/Tengku/Teuku (Aceh), Daeng/Andi (Makassar/Bugis).

Berdasarkan uraian sejarah dari beberapa sumber maka secara umum sapaan La/Wa merupakan sapaan umum sebagaimana dengan kata “Abu” untuk sapaan bagi anak orang–orang arab. Lebih jauh lagi, kata depan La/Wa yang melekat pada nama mereka menggambarkan bahwa mereka bagian dari pengaruh budayasuku daratan yang didominasi oleh pengaruh Kerajaan Majapahit. Ini dapat terbukti pada akhir masa keemasan Kerajaan Majapahit, dimana Pati Gajah Mada melakukan pelayaran ke wilayah timur. Panggilan La oleh suku daratan merupakan panggilan untuk orang yang memiliki “kekuatan dan atau kemampuan” sebagaimana layaknya seorang laki-laki/pemimpin.  Untuk panggilan kata “Wa” pada perempuan mempunyai makna yang dilindungi/dipimpin atau sebutan bagi yang dilindungi oleh seorang laki-laki (La) baik sebagai orang tuanya maupun sebagai pasangannya (istri).

Pada bagian lain sapaan yang bermakna sama untuk suku pelaut menggunakan kata depan “Si”, Sapaan yang melekat pada nama mereka  banyak digunakan oleh suku sama (suku bajo). Berdasarkan sejarah suku pelaut di negeri ini didominasi oleh kerajaan Sriwijaya. Dengan uraian ini maka terbayanglah karakter masyarakat yang mendiami jazirah Muna dan Buton termasuk bagaimana proses imperium dua kerajaan besar tersebut termasuk peletakaan budaya di negeri baru (simak nama para raja sebelum islam masuk di jazirah muna/buton).

Keterkaitan sejarah dunia dalam perkembangan budaya muna/buton mempunyai pengaruh yang cukup besar meskipun terjadi secara tidak langsung. Hal tersebut bisa kita cermati dengan penjelajahan samudera oleh  bangsa spanyol dan portugis hingga menghasilkan perjanjian toerdesiles (pembagian dunia) yang ditandatangani di Pulau Moti (Maluku Utara).

 Wilayah barat Maluku Utara dikuasai oleh spanyol dan bagian timurnya oleh bangsa portugis, dari hal tersebut maka budaya spanyol ikut mempengaruhi beberapa budaya masyarakat di nusantara. Budaya tersebut terutana pada tatakrama masyarakat yang berkembang dengan makin menancapnya ajaran agama hindu dan budha di wilayah daratan yang lebih luas (Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi).

Siar islam menjadi salah satu penyebab keruntuhan kerajaan besar di nusantara dengan agama yang berkembang saat itu. Runtuhnya kerajaan majapahit (jawa), sriwijaya (Palembang) termasuk kerajaan Kutai (kalimantan), Gowa (makassar) dan Bone (bone).   Dalam masa keruntuhan kerajaan tersebut memungkinkan para pemuka dan masyarakat dari kerajaan tersebut keluar mencari daerah baru dengan membawa sistim sosial dari negeri asalnya (termasuk membawa Kata depan nama La/Wa). Dampak keruntuhan kerajaan besar tersebut diatas menyebabkan berdiri kerajaan/kesultanan islam di nusantara yang hampir bersamaan dengan masuk belanda ke nusantara dalam menjajah negeri ini.

  • Kenapa kata La dan Wa pada nama depan keturunan masyarakat Muna dan Buton masih digunakan???

Pada kenyataan sekarang telah banyak dari keturunan Orang Muna dan Buton tidak lagi menggunakan nama depan mereka dengan kata La/Wa, sedangkan kata depan dengan nama La/Wa + Ode makin dimunculkan. Tendensi ini bagi penulis, merupakan pemahaman masyarakat di jazirah Muna dan Buton tentang kata tersebut tidak dipahami secara mendalam ataupun dalam pemahaman lain bermakna sakrar (memang sakrar) dan cenderung “buta”.

Untuk hal diatas, terdapat makna bahwa kata La/Wa bukanlah satu kesatuan dari kalimat sahadat, memang demikian yang penulis ingin penulis sampaikan tapi “Warisan Majapihit”. Namun keberlanjutan penggunaan kata La/Wa bermakna lain sejak siar islam masuk.  Pengadopsian kata La/Wa oleh islam puncaknya terjadi saat kata depan La/Wa bersambung dengan kata “ode”. Dengan memasukkan kata “ode” tersebut maka makna kata La/Wa tidak bisa terlepas dengan sendi kehidupan di jazirah Muna dan Buton sekaligus menghilangkan/memaksimalkan makna kata depan La/Wa sebagai warisan Majapahit (budaya baru suku daratan).

Bagian dari sendi kehidupan orang Muna/Buton tersebut diartikan bahwa kata depan nama La/Wa+Ode adalah pencitraan khusus bagi penyandangnya yang berasal dari kaum pengguna kata La/Wa pada nama mereka.  Khusus maksudnya mempunyai peran dan fungsi khusus dalam tatanan masyarakat. Dari hal ini maka peran orang yang bernama depan La/Wa mempunyai wewenang untuk mencabut nama orang yang bernama depan La/Wa+ode.

Semoga pemahaman kita dengan makna kata La dan Wa yang lebih real membuat kita lebih bijak dan paham sekaligus merasa bersama dengan kebersamaan yang utuh (Muna dan Buton) dalam kespesifikasian yang heterogen. Marilah kita menghargai budaya kita dengan tetap merasa bangga menjadi orang yang bernama depan La dan Wa.

Sumber: Salnuddin

0 komentar:

Posting Komentar