Senin, 11 Februari 2013

Tempat wisata di Ternate

Seperti yang sudah banyak diketahui bahwa Maluku, contohnya Maluku Utara, merupakan salah satu tempat yang kaya akan budaya, seni, tradisi, dan keindahan alam yang elok.
Tidak heran jika banyak Tempat Wisata di Maluku Utara yang masuk dalam agenda para traveler.
Maluku Utara menjadi tempat menarik bagi banyak pecinta traveling untuk memenuhi kegemarannya mengunjungi tempat-tempat menarik di Indonesia. Berbagai jenis wisata dapat dipilih disana.
Tidak terbatas pada wisata alam yang menyegarkan pikiran, tetapi juga sarat akan wisata budaya dan sejarah yang menarik untuk dikunjungi.

Pulau Maitara
Pulau Maitara menjadi salah satu Tempat Wisata di Maluku Utara yang sangat terkenal karena terpampang pada salah satu sisi uang seribuan yang dikeluarkan oleh BI. Pulau ini sangat eksotis dan terletak diantara pulau Ternate serta Tidore.
Pulau ini dirawat dan terjaga keindahannya. Lingkaran pantai yang berpasir putih menjadi keindahan tersendiri pulau ini. keindahan bawah lautnya pun patut diacungi jempol.

Pantai Sulamadaha
Pantai Sulamadaha merupakan salah satu objek wisata alam yang menjadi tujuan wisata yang patut di masukkan dalam daftar Tempat Wisata di Maluku Utara ketika kita ke sana.
Pantai ini memiliki pasir berwarna hitam namun nyaman untuk bersantai. Diving dan snorkeling menjadi aktivitas menyenangkan disana.

Keindahan teluk Saomadaha membuat pantai ini terlihat sempurna. Teluk ini terletak di bagian kiri atau ke barat dari pantai. Berbagai aktivitas menyenangkan dapat dilakukan, terutama bagi mereka yang menyukai tantangan.

Wisata Budaya dan Sejarah
Selain keelokan alam di Maluku Utara, keunikan dan lestarinya budaya dan sejarah disana sangat menarik untuk ditelusuri. Terdapat beberapa Tempat Wisata di Maluku Utara yang dapat dikunjungi untuk memenuhi rasa ingin tahu terhadap budaya dan sejarah di sana.

Benteng Toluko
Berbagai bangunan peninggalan sejarah dapat ditemukan di Maluku Utara. Bangunan tersebut memiliki nilai sejarah dan budaya tersendiri. Salah satunya ialah benteng Toluko yang merupakan benteng peninggalan Portugis dan Belanda ini.
Benteng ini terletak di kota Ternate di kawasan utara. Meskipun benteng ini dibangun pada tahun 1540, namun bangunan ini sangat terawat sehingga dapat dikunjungi sebagai salah satu tujuan wisata sejarah dan budaya kita.

Kesultanan Ternate
Kesultanan ternate atau juga disebut sebagai Kedaton Ternate menjadi salah satu Tempat Wisata di Maluku Utara yang terkenal. Kesultanan ini terletak di atas perbukitan Limau Santosa. Memiliki luas lebih dari 44.000 meter persegi.
Di sini disimpan berbagai benda peninggalan sultan ternate, salah satunya yang melegenda ialah mahkota raja Ternate. Mahkota ini sangat unik karena terdapat helaian rambut yang terus tumbuh meskipun selalu dipotong ketika hari raya Qurban.

Sejarah Masuknya Agama Islam di Maluku Utara

 Sejarah Masuknya Agama Islam di Maluku Utara


 
Masjid – masjid bersejarah di Indonesia Timur tidak lepas dari sejarah panjang kerajaan – kerajaan Islam di Maluku Utara yang memegang peranan penting dalam perdagangan dan penyebaran agama Islam pada abad XII hingga abad XIX. Kerajaan – kerajaan Islam ini dikenal pula sebagai Moloku Kie Raha, yang artinya empat raja – raja gunung diatas pulau. Yang terdiri dari Kesultanan Ternate, Kesultanan Tidore, Kesultanan Jailolo dan Kesultanan Bacan.
 
Sebelum memeluk Islam, keempatnya telah menjadi "kolano" (setingkat dengan kerajaan) serta memiliki kedudukan dan peran tersendiri dalam perdagangan jarak jauh. Kedatangan pengaruh Islam di Indonesia bagian Timur, khususnya Maluku, berkaitan dengan jalur pelayaran, khususnya pelayaran niaga, dengan rempah-rempah sebagai kata kuncinya. Inilah titik di mana pada akhirnya beberapa aspek juga berpengaruh di kawasan ini: sosial, budaya, agama, bahasa, ekonomi, bahkan politik dan militer. Terang saja karena para pedagang pada waktu itu berasal dari berbagai bangsa.

Sejak berubah dari "kolano" menjadi kesultanan pada sekitar abad XV, keempatnya secara politis berusaha mengembangkan pengaruhnya ke berbagai tempat, khususnya ke arah timur dan selatan. Tidore, antara lain dapat memasukkan pantai barat Papua ke dalam wilayahnya. Ternate berhasil meluaskan pengaruh dan wilayahnya hingga sebagian Sulawesi, sebagian Papua, Ambon, Lease, Seram, Buru, dan Banda. Sementara itu, Bacan "gagal" meluaskan pengaruhnya, namun tetap eksis sebagai kesultanan yang mandiri. Lain halnya dengan Jailolo yang bergabung dengan Ternate dan Tidore.

Akibat dinamika politik dan militer dalam perluasan wilayah tersebut, berbuntut pada retaknya "moloku kie raha." Berbagai perang antara mereka sering terjadi, termasuk perang dagang. Hal ini diperparah oleh pengaruh Barat, khususnya Belanda, dengan segala sistem ekonomi dan militernya. Silih berganti Belanda memihak, dan silih berganti mendapat berbagai keuntungan dari pihak yang "dibelanya," baik secara politik maupun ekonomi.

Kesultanan Ternate merupakan kerajaan Islam yang menerapkan demokrasi terpimpin. Kepala negara tetap seorang Sultan, namun dalam pemerintahan, dipimpin oleh Jogugu, diistilahkan sebagai Perdana Menteri. Seorang Putra Mahkota tidak harus merupakan putra sulung Sultan. Berdasarkan kecakapan, kapasitas, dan gaya kepemimpinan, maka diantara putra – putra Sultan Ternate diseleksi oleh Jogugu dan Tuan Guru (penasehat spiritual Sultan yang bertindak pula sebagai Imam Besar Masjid Raya Sultan Ternate) untuk menjadi Putra Mahkota.

Kesultanan Ternate mengurusi perkara agama yang ditangani oleh Jou Kalim dan para stafnya, yang disebut juga sebagai Bobato Akhirat. Sedangkan perkara budaya ditangani oleh Kimalaha dan para stafnya, yang disebut juga sebagai Bobato Dunia.

Asal mula nama WA dan LA


Kita masih mengingat apa yang dikatakan oleh Shacespeare “Apa Arti Sebuah nama”, ungkapan tersebut tidak berlaku bagi kita yang menyatakan diri mengakui Allah SWT sebagai rabbi dan Muhammad SAW sebagai rasulnya. Hal tersebut diperlihatkan pada hadist Rasulullah Muhammad SAW tentang pentingnya pemberian nama yang baik bagi anak-anak muslimin. Dengan hal tersebut maka penyebutan nama untuk penduduk/keturunan masyarakat yang berdiam di Jazirah Muna dan Buton menjadi bermakna lebih ganda dengan menyimpan makna tertentu. Makna yang dimaksud adalah pesan dari tujuan yang diharapkan orang tua mereka dalam menggapai hikmah dalam kehidupan. Setiap kata adalah doa begitu ungkapan yang sering kita dengar. Berikut saya mencoba membuat alur pikir tulisan ini dalam bentuk prolog.
  • Kenapa masyarakat Muna dan Buton bangga menggunakan nama depan La dan Wa dan masih digunakan dalam pergaulan sehari-hari hingga saat ini ???.

Ungkapan kata La dan Wa untuk masyarakat Muna dan Buton telah dipahami oleh sebagian besar masyarakat berasal dari kalimat Tauhid yakni dari “syahadat thain” (ashadualla Illallah illallah) dan diartikan La sebagai kesatuan dari kalimat sahadat (bukan penggalan kata) dan untuk Wa bermakna yang sama untuk kalimat sahadat rasul (Washaduanna Muhammad Darasulullah).
Dengan pemahaman tersebut menyebabkan RASA BANGGA melekat bagi mereka yang menggunakan kata depan nama (La/Wa). Pemahaman konsep tersebut dapat bernilai wajar manakala memang demikian adanya, namun minimal penggunaan kata depan La/Wa menjadi pembeda dengan masyarakat lain di nusantara ini, bahkan pada skala dunia. Namun serangkain pemikiran tersebut mengarahkan kita untuk berpikir (akal) dengan mempertimbangkan rasa (bathin) untuk beberapa hal sebagai berikut :
  • Bagaimana kerangka pikir nama dengan kata depan La/Wa mengambil kata dari kalimat tauhid, padahal para penggunanya (raja-raja) belum mengucapkan kalimat tersebut (belum islam)???. Apakah pendekatan penggunaan kalimat tauhid sebagai kata depan nama (La/Wa) merupakan penyesuaian makna yang terakhir (terbaru) setelah penggunanya beragama islam ??? Lalu bagiamana status raja-raja tersebut yang juga menggunakan kata depan nama mereka dengan kata La/Wa???.
 
  • Mengapa tingkatan kultural penyandang nama La/Wa berada pada tingkatan lebih rendah dibandingkan dengan pengguna nama depan La/Wa+ode ??? Ada makna esistensi  kalimat sahadat menjadi kecil???,
 
  • Bagiamana pula nahu kata La (tidak/tiada) dalam kalimat sahadat ?  Yang mana kata La/Wa yang ditulis tersambung pada kalimat sahadat? Sedangkan aplikasi kata La/Wa dalam penggunaannya nama masyarakat muna dan buton dibuat terpisah atau tersambung dengan nama aslinya (misalnya La Umar/Wa Ike atau Laumar/Waike)
Tiga pertanyaan diatas memberi rana berpikir kita untuk lebih analisis, bukankah ilmu tanpa agama menjadikan kita “goyang” sedangkan agama tanpa ilmu menyebabkan kita menjadi “ambruk”. Semoga saja dua hal diatas membuat kita menjadi manusia yang sebenarnya (memiliki ilmu dan iman).
Terkait dengan hal tersebut, pada aplikasinya penggunaan kata La/Wa menujukkan fenomena yang lebih rancu, beberapa fenomena yang penulis jumpai antara lain;
  • Kata La/Wa digunakan juga oleh masyarakat diwilayah lain di luar Jazirah Muna dan Buton sebagaimana oleh Masyarakat Sangir Talaud, NTT/NTB danKalimantan dan masih banyak lagi suku lain di Nusantara ini yang menggunakan nama mereka dengan kata depan La/Wa. Bukti tersebut dapat dilihat daripenggunaan marga dari tiap keluarga, kisah (epik) sejarah, makam leluhur dll.
 
  • Hal yang unik lagi nama La/Wa khususnya kata depan La juga digunakan sebagaian orang yang berada di Piliphina, Thailand bahkan orang-oarang di Italiadengan bukti yang sama dengan point sebelumnya.
Dengan mencermati kondisi demikian apakah hal yang spesifik dari kata La/Wa bagi orang Muna dan Buton???. Kalau mereka dikaitkan dengan keagamaan yang mereka anut, mungkin saja dapat digeneralisasi bahwa bagi yang beragama islam dapat disandangkan kata La/Wa pada mereka, dan bagimana jika mereka tidak beraga islam ?. oleh karena itu, terkait dengan penggunaan kata “La/Wa” yang masih dikaitkan dengan asal para pengguna nama depan La (orang muna buton saja+beragama islam), penulis menjustifikasikannya sebagai kerangka berfikir yang tidak rasional.

  • Pemaknaan kerangka berpikir dan pemahaman masyarakat dengan penggunaan nama depan La dan Wa dikaitkan dengan sumber asal katanya

Secara garis besar, ada dua pemikiran saudara saya di jazirah muna dan buton yang menjelaskan asal kata depan “La” sebagai berikut :
  • Kata La diambil dari kalimat tauhid (sahadat) “ashadualLa Illallah illallah”,
  • Kata La diambil dari kalimat tahlil “La Ilaha illallah”,
Sedangkan untuk kata Wa, mempunyai asal kata yang sama yakni dari kalima Wa ashadu anna muhammad darasullullah (sahadat rasul).
Berdasarkan penelusuran penulis, ungkapan diatas lebih dominan berkembang dan sangat dipahami oleh saudara saya di Jazirah Buton. Untuk mendudukan arah pemahaman yang lebih rasional, penulis berupaya untuk berhati-hati menguraikannya.
  • Secara individual (person) masing-masing orang berhak untuk memahaminya sebagaimana hal di atas (hak pribadi). Kalau hal ini berlaku, sangat berpotensi simbol kata La/wa dapat berasal dari kalimat lain dengan pemahaman yang lain pula. Kondisi pemahaman tersebut secara sosio kultural berpeluang terciptanya“konflik pemahaman”, manakala masing-masing individu tidak mampu menjelaskan pemaknaan kata La yang dia pahami dengan sumber kata/kalimat rujukan yang berbeda ataupun simbol-simbol lain.
 
  • Pemahaman secara berkelompok (kolektif), pemahaman kearah ini dapat tercapai jika secara kolektif masyarakat ditiap wilayah atau di wilayah yang lebih besar mempunyai pemahaman yang sama terhadap kata “La” yang digunakannya sebagai bagian dari budaya mereka. Penelaahan informasi tentang kata La menjadi kunci untuk menyeragamkan pemaknaan kata “La”. Arahan penelaahan dalam pemaknaan yang bersifat mendasar (makna syariat) menjadi penting sekali dalam mentransfer aliran sejarah/budaya dalam masyarakat, sedangkan pemaknaan sufiisme (makna lebih tinggi) seringkali membuat “multi kutup”pemaknaan. Multinya sudut pandang  mengakibatkan hilang/kaburnya jatidiri yang sebenarnya dan manghasilkan hal yang sama dengan “Taklid buta”.
 
  • Rana pemahaman yang fleksibel; dari dua sumber kalimat yang dirujuk sebagai asal muasal kata La/Wa, bagi penulis menilai  informasi makna tersebut antara lain:
 
  • Pemahaman bebas, merujuk asal sumber kata nama seseorang dengan tidak melupakan esensi sang khaliq. Pada sisi lain penggunaan kata (penggalan) kata akan berbeda makna jika kata itu bendiri sendiri (etimologi), padahah agama islam sangat ketat dalam pembacan kita suci (huruf arab) dengan hukum tajwidnya dll. Pemaknaan makna kata yang diacu tersebut akan menghasilkan makna yang berbias.
 
  • Pemahaman bebas bersyarat, yang penulis maksud adalah penggunaan kata La/Wa tetap memasukkan esensi sang khaliq namun tidak merujuk pada sumber kalimat tauhid. Pemaknaan ini artinya kata La/Wa tidak berasal dari kalimat tauhid, mengingat adopsi katanya  yang tidak sepadan.
 
  • Pemaknaan yang tegas, Kalau kita cermati secara detail, bahwa penggunaan kata La/Wa jauh-jauh waktu telah digunakan sebelum siar islam masuk ke Jazirah Muna dan Buton. Perhatikan nama-nama raja sebelum penyiar islam masuk. Dengan demikian penulis ingin tekankan bahwa kata depan nama (La/Wa) tidak dapat dipadankan atau sumber katanya dari kalimat tauhid.
  • Perkembangan sejarah dalam memahami penggunaan nama depan La dan Wa di Jazirah Muna/Buton

Untuk mahami fenomena diatas maka dilakukan pendekatan sejarah, dari beberapa kajian tentang penggunaan nama depan nama penduduk, memberi kesan yang sama bahwa sapaan keakrabatan dengan penuh rasa hormat/takzim. Nilai-nilai tersebut menjadi dasar penggunaan kata depan, baik yang bersifat sementara ataupun bersifat tetap. Bersifat sementara seperti sapaan “Mas” bagi orang dari Suku Jawa yang sebenarnya hanya sapaan (bukan nama aslinya), sedangkan yang tetap seperti sapaan La/Wa (Muna dan Buton), Cut/Tengku/Teuku (Aceh), Daeng/Andi (Makassar/Bugis).

Berdasarkan uraian sejarah dari beberapa sumber maka secara umum sapaan La/Wa merupakan sapaan umum sebagaimana dengan kata “Abu” untuk sapaan bagi anak orang–orang arab. Lebih jauh lagi, kata depan La/Wa yang melekat pada nama mereka menggambarkan bahwa mereka bagian dari pengaruh budayasuku daratan yang didominasi oleh pengaruh Kerajaan Majapahit. Ini dapat terbukti pada akhir masa keemasan Kerajaan Majapahit, dimana Pati Gajah Mada melakukan pelayaran ke wilayah timur. Panggilan La oleh suku daratan merupakan panggilan untuk orang yang memiliki “kekuatan dan atau kemampuan” sebagaimana layaknya seorang laki-laki/pemimpin.  Untuk panggilan kata “Wa” pada perempuan mempunyai makna yang dilindungi/dipimpin atau sebutan bagi yang dilindungi oleh seorang laki-laki (La) baik sebagai orang tuanya maupun sebagai pasangannya (istri).

Pada bagian lain sapaan yang bermakna sama untuk suku pelaut menggunakan kata depan “Si”, Sapaan yang melekat pada nama mereka  banyak digunakan oleh suku sama (suku bajo). Berdasarkan sejarah suku pelaut di negeri ini didominasi oleh kerajaan Sriwijaya. Dengan uraian ini maka terbayanglah karakter masyarakat yang mendiami jazirah Muna dan Buton termasuk bagaimana proses imperium dua kerajaan besar tersebut termasuk peletakaan budaya di negeri baru (simak nama para raja sebelum islam masuk di jazirah muna/buton).

Keterkaitan sejarah dunia dalam perkembangan budaya muna/buton mempunyai pengaruh yang cukup besar meskipun terjadi secara tidak langsung. Hal tersebut bisa kita cermati dengan penjelajahan samudera oleh  bangsa spanyol dan portugis hingga menghasilkan perjanjian toerdesiles (pembagian dunia) yang ditandatangani di Pulau Moti (Maluku Utara).

 Wilayah barat Maluku Utara dikuasai oleh spanyol dan bagian timurnya oleh bangsa portugis, dari hal tersebut maka budaya spanyol ikut mempengaruhi beberapa budaya masyarakat di nusantara. Budaya tersebut terutana pada tatakrama masyarakat yang berkembang dengan makin menancapnya ajaran agama hindu dan budha di wilayah daratan yang lebih luas (Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi).

Siar islam menjadi salah satu penyebab keruntuhan kerajaan besar di nusantara dengan agama yang berkembang saat itu. Runtuhnya kerajaan majapahit (jawa), sriwijaya (Palembang) termasuk kerajaan Kutai (kalimantan), Gowa (makassar) dan Bone (bone).   Dalam masa keruntuhan kerajaan tersebut memungkinkan para pemuka dan masyarakat dari kerajaan tersebut keluar mencari daerah baru dengan membawa sistim sosial dari negeri asalnya (termasuk membawa Kata depan nama La/Wa). Dampak keruntuhan kerajaan besar tersebut diatas menyebabkan berdiri kerajaan/kesultanan islam di nusantara yang hampir bersamaan dengan masuk belanda ke nusantara dalam menjajah negeri ini.

  • Kenapa kata La dan Wa pada nama depan keturunan masyarakat Muna dan Buton masih digunakan???

Pada kenyataan sekarang telah banyak dari keturunan Orang Muna dan Buton tidak lagi menggunakan nama depan mereka dengan kata La/Wa, sedangkan kata depan dengan nama La/Wa + Ode makin dimunculkan. Tendensi ini bagi penulis, merupakan pemahaman masyarakat di jazirah Muna dan Buton tentang kata tersebut tidak dipahami secara mendalam ataupun dalam pemahaman lain bermakna sakrar (memang sakrar) dan cenderung “buta”.

Untuk hal diatas, terdapat makna bahwa kata La/Wa bukanlah satu kesatuan dari kalimat sahadat, memang demikian yang penulis ingin penulis sampaikan tapi “Warisan Majapihit”. Namun keberlanjutan penggunaan kata La/Wa bermakna lain sejak siar islam masuk.  Pengadopsian kata La/Wa oleh islam puncaknya terjadi saat kata depan La/Wa bersambung dengan kata “ode”. Dengan memasukkan kata “ode” tersebut maka makna kata La/Wa tidak bisa terlepas dengan sendi kehidupan di jazirah Muna dan Buton sekaligus menghilangkan/memaksimalkan makna kata depan La/Wa sebagai warisan Majapahit (budaya baru suku daratan).

Bagian dari sendi kehidupan orang Muna/Buton tersebut diartikan bahwa kata depan nama La/Wa+Ode adalah pencitraan khusus bagi penyandangnya yang berasal dari kaum pengguna kata La/Wa pada nama mereka.  Khusus maksudnya mempunyai peran dan fungsi khusus dalam tatanan masyarakat. Dari hal ini maka peran orang yang bernama depan La/Wa mempunyai wewenang untuk mencabut nama orang yang bernama depan La/Wa+ode.

Semoga pemahaman kita dengan makna kata La dan Wa yang lebih real membuat kita lebih bijak dan paham sekaligus merasa bersama dengan kebersamaan yang utuh (Muna dan Buton) dalam kespesifikasian yang heterogen. Marilah kita menghargai budaya kita dengan tetap merasa bangga menjadi orang yang bernama depan La dan Wa.

Sumber: Salnuddin

Kamis, 07 Februari 2013

Tempat Wisata di Halmahera Tengah

Pemerintah Kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara (Malut), akan mengembangkan Pulau Gebe menjadi kawasan wisata bahari, dan diharapkan menjadi salah satu daya tarik bagi wisatawan berkunjung ke daerah itu.

"Pemkab Halmahera Tengah mulai 2013 akan mengalokasikan anggaran untuk pengembangan Pulau Gebe menjadi kawasan wisata bahari, di antaranya untuk penataan dan pembangunan berbagai fasilitas penunjang," kata Bupati Halteng, Ali Yasin di Ternate, Sabtu (8/12/2012).

Pemkab Halteng juga tengah mengupayakan keterlibatan investor dalam pengembangan Pulau Gebe menjadi kawasan wisata bahari, karena pemkab memiliki keterbatasan dana untuk mengembangkannya sendiri.

Ali Yasin optimistis jika Pulau Gebe telah dikembangkan menjadi kawasan wisata bahari, akan banyak wisatawan dari dalam dan luar negeri yang akan tertarik berkunjung ke pulau yang dulunya menjadinya daerah tambang nikel PT Aneka Tambang itu.

Optimisme itu didasarkan pada keindahan yang dimiliki Pulau Gebe, terutama pantainya yang berpasir putih dan panorama bawah laut di perairan sekitarnya, yang tidak kalah menarik jika dibandingkan dengan panorama bawah laut Perairan Raja Ampat, Papua Barat.

"Keragaman ikan di perairan Pulau Gebe, sesuai hasil penilitian sangat banyak yakni mencapai 300 jenis atau lebih banyak jika dibandingkan dengan di perairan Raja Ampat, Papua Barat hanya sekitar 290 jenis," katanya.

Halteng juga memiliki sejumlah obyek wisata lainnya seperti Goa Bokimamuru yang konon merupakan goa terpanjang di dunia dan Taman Nasional Ake Tajawa Lolobata yang dihuni ratusan jenis burung, beberapa di antaranya merupakan brurung endemik Halmahera.

Menurut Ali Yasin, Pemkab Halteng tengah mengupayakan agar wisatawan yang berkunjung di kawasan wisata Raja Ampat, Papua Barat dapat melanjutkan perjalanan ke Halteng, karena jarak antara Halteng dengan Raja Ampat berdekatan.

Untuk mencapai Halteng harus melewati Ternate kemudian melanjutkan perjalanan ke daerah itu menggunakan jalur darat melalui Sofifi, Ibu Kota Sofifi Malut atau jalur laut dari Ternate langsung ke Halmahera Tengah.

Sumber : Antara

Tempat Wiata di Halmahera Barat

 Tempat Wisata di Halmahera Barat


 

Menyusuri tiap jengkal ranah Halmahera Barat (Halbar), Maluku Utara, terasa benar pancaran keindahan tersembunyi yang belum banyak digali menjadi obyek wisata. Dari mulai surga di bawah laut hingga alam pedesaan dan pegunungan yang menawan. Tak bisa dipungkiri, sebagai salah satu daerah tujuan wisata, Halmahera Barat memiliki keragaman obyek wisata dan daya tarik yang patut diancungi jempol.

Menurut Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Halmahera Barat Fenny Kiat, aset obyek wisata di Kabupaten Halmahera Barat sebagian sudah dikelola oleh pemerintah kabupaten, di antaranya wisata tirta, wisata seni dan budaya dan wisata sejarah. “Sedangkan aset wisata lainnya, seperti wisata alam, wisata agro, wisata fauna dan sebagian wisata tirta masih dalam program perencanaan pengembangan wisata oleh pemerintah Kabupaten Halbar,” kata Fenny.

Keindahan tiap pulau, kekayaan budaya dan keunikan masyarakat Halbar menebar pesona tersendiri. Keberagaman yang muncul di tiap wilayah mampu menunjukkan kebhinnekaan sesungguhnya. Terlebih jika kita cukup waktu menjangkau dan berdiam di desa-desa wisata yang ada.

Mulai dari wilayah Teluk Jailolo yang menyuguhkan pesona alam dari pelabuhan Jailolo hingga kaki gunung. Wisatawan yang menggemari pesona bawah laut, bisa memuaskan diri diving (menyelam) di seputar Teluk Jailolo. Di sini pelancong bisa memanfaatkan jasa Gilolo Diving Centre yang siap mengantarkan ke 10 titik penyelaman (diving spot) paling terkenal, yang dihiasi terumbu karang indah dan beragam biota laut.

Puas menyelam, wisatwan bisa bergeser ke arah pegunungan, menuju yang dihuni berbagai suku. Di antaranya Suku Sahu, yang dikenal sangat menjaga dengan baik warisan adat istiadat maupun benda-benda peninggalan para leluhurnya.

Suku Sahu berdomisili di Kecamatan Sahu Halmahera Barat. Mereka memiliki rumah adat yang beratapkan anyaman daun sagu. Rumah adat yang disebut Sasadu itu biasa digunakan sebagai tempat musyawarah dan merayakan pesta panen raya padi. Upacara Horom Sasadu itu menjadi ajang luapan syukur dari masyarakat Sahu setelah menjalani masa panen.

Ciri khas dari perayaan tujuh hingga sembilan hari ini adalah hadirnya minuman memabukkan yang disebut saguer, atau arak yang disuling secara tradisional. Penyulingan arak yang menjadi rutinitas penduduk sehari-hari menjadi salah satu sajian dari objek wisata khas daerah ini. Pelancong bisa mengabadikan proses penyulingan dan berbaur dengan masyarakat pada pesta berhari-hari tanpa henti.

Daya tarik lain dari kekhasan Jailolo adalah bangunan rumah Sultan Jailolo yang merupakan objek wisata bangunan bersejarah. Selain itu, beberapa desa dari Suku Sahu telah dikembangkan menjadi desa wisata. Di antaranya Desa Worat Worat, Desa Taraudu, Desa Gamomeng, Desa Gamtala, dan Desa Marimbati.

Berikut ini beberapa atraksi wisata yang bisa dinikmati di Desa Wisata:

1. Ritual makan adat Suku Sahu: Tamu diajak makan bersama masyarakat di dalam rumah adat.

2. Membuat kerajinan tradisional: Palancong diajak membuat kerajinan tangan tradisional khas desa wisata, antara lain kerajinan anyaman bambu, anyaman daun pandan, pembuatan saloi dan pembuatan paludi.

3. Membuat makanan dan minuman tradisional: Untuk wisatawan penikmat kuliner, bisa bergabung bersama penduduk lokal membuat makanan khas, seperti papeda, nasi bambu dan makanan tradiosional lainnya. Selain itu, pengunjung bisa melihat proses pembuatan minuman tradisional seperti saguer dan captikus, dan langsung mencicipi buah tangan mereka.

4. Wisata susur desa dengan gerobak sapi: Wisatawan diajak menikmati panorama alam dan menyusuri perkebunan dengan sarana transportasi tradisional gerobak sapi.

5. Wisata menyusur dan menanam bakau : Dengan perahu tradisional, wisatawan diajak menikmati pesona flora dan fauna khas hutan bakau yang masih terjaga kelestariannya, sekaligus menanam bakau dan setiap pohon diberi nama penanamnya.

6. Berlatih tarian tradisional: Wisatawan diajak berlatih dan berintreaksi langsung dalam tarian tradisonal seperti Legu Salay dan Sala Dabi-Dabi.

7. Mandi air hangat: Pengunjung bisa melakukan relaksasi dengan mandi air hangat yang ada di desa wisata.

8. Berburu dan Mengolah Makanan Laut: Untuk penikmat wisata petualangan, bisa bergabung dengan penduduk berburu kepiting, ikan dan kerang menggunakan alat tradisional, lalu dimasak di lokasi.

9. Berburu ulat sagu: Wisatawan diajak mencari ulat sagu (sabeta) dan mengolahnya menjadi makanan yang lezat.

10. Menjajal permainan tradisional: Wisatawan diajak untuk berinteraksi dengan masyarakat dalam permainan tradisonal.  (HP)

Rute Mencapai Jailolo

Jailolo adalah Kota Kecamatan di Kabupaten Halmahera Barat. Untuk mencapai ke sana bisa menggunakan pesawat ke Kota Ternate, Maluku Utara. Setelah Mendarat di Bandara Ternate, berlanjut menuju Pelabuhan Dufa-Dufa dan menyeberang menggunakan speed boat menuju Teluk Jailolo, selama satu jam perjalanan. Untuk menuju desa-desa wisata, pelancong bisa menyewa mobil atau motor. Perjalanan dari pusat Kota Jailolo ke desa-desa sekitarnya ditempuh hanya dalam waktu 20 menit. Soal menginap, Pemkab telah menyiapkan beberapa rumah Penduduk yang sangat layak untuk disewa.