Kita masih mengingat apa yang dikatakan
oleh Shacespeare “Apa Arti Sebuah nama”, ungkapan tersebut tidak berlaku
bagi kita yang menyatakan diri mengakui Allah SWT sebagai rabbi dan
Muhammad SAW sebagai rasulnya. Hal tersebut diperlihatkan pada hadist
Rasulullah Muhammad SAW tentang pentingnya pemberian nama yang baik bagi
anak-anak muslimin. Dengan hal tersebut maka penyebutan nama untuk
penduduk/keturunan masyarakat yang berdiam di Jazirah Muna dan Buton
menjadi bermakna lebih ganda dengan menyimpan makna tertentu. Makna yang
dimaksud adalah pesan dari tujuan yang diharapkan orang tua mereka
dalam menggapai hikmah dalam kehidupan. Setiap kata adalah doa begitu
ungkapan yang sering kita dengar. Berikut saya mencoba membuat alur
pikir tulisan ini dalam bentuk prolog.
- Kenapa masyarakat Muna dan Buton bangga menggunakan nama depan La
dan Wa dan masih digunakan dalam pergaulan sehari-hari hingga saat
ini ???.
Ungkapan kata La dan Wa untuk masyarakat
Muna dan Buton telah dipahami oleh sebagian besar masyarakat berasal
dari kalimat Tauhid yakni dari “syahadat thain” (ashadualla Illallah
illallah) dan diartikan La sebagai kesatuan dari kalimat sahadat (bukan
penggalan kata) dan untuk Wa bermakna yang sama untuk kalimat sahadat
rasul (Washaduanna Muhammad Darasulullah).
Dengan pemahaman tersebut menyebabkan RASA BANGGA melekat
bagi mereka yang menggunakan kata depan nama (La/Wa). Pemahaman konsep
tersebut dapat bernilai wajar manakala memang demikian adanya, namun
minimal penggunaan kata depan La/Wa menjadi pembeda dengan masyarakat
lain di nusantara ini, bahkan pada skala dunia. Namun serangkain
pemikiran tersebut mengarahkan kita untuk berpikir (akal) dengan
mempertimbangkan rasa (bathin) untuk beberapa hal sebagai berikut :
- Bagaimana kerangka pikir nama dengan kata depan La/Wa mengambil kata
dari kalimat tauhid, padahal para penggunanya (raja-raja) belum
mengucapkan kalimat tersebut (belum islam)???. Apakah pendekatan
penggunaan kalimat tauhid sebagai kata depan nama (La/Wa) merupakan
penyesuaian makna yang terakhir (terbaru) setelah penggunanya beragama
islam ??? Lalu bagiamana status raja-raja tersebut yang juga
menggunakan kata depan nama mereka dengan kata La/Wa???.
- Mengapa tingkatan kultural penyandang nama La/Wa berada pada
tingkatan lebih rendah dibandingkan dengan pengguna nama depan
La/Wa+ode ??? Ada makna esistensi kalimat sahadat menjadi kecil???,
- Bagiamana pula nahu kata La (tidak/tiada) dalam kalimat sahadat ?
Yang mana kata La/Wa yang ditulis tersambung pada kalimat sahadat?
Sedangkan aplikasi kata La/Wa dalam penggunaannya nama masyarakat muna
dan buton dibuat terpisah atau tersambung dengan nama aslinya (misalnya
La Umar/Wa Ike atau Laumar/Waike)
Tiga pertanyaan diatas memberi rana
berpikir kita untuk lebih analisis, bukankah ilmu tanpa agama menjadikan
kita “goyang” sedangkan agama tanpa ilmu menyebabkan kita menjadi
“ambruk”. Semoga saja dua hal diatas membuat kita menjadi manusia yang
sebenarnya (memiliki ilmu dan iman).
Terkait dengan hal tersebut, pada
aplikasinya penggunaan kata La/Wa menujukkan fenomena yang lebih rancu,
beberapa fenomena yang penulis jumpai antara lain;
- Kata La/Wa digunakan juga oleh masyarakat diwilayah lain di luar
Jazirah Muna dan Buton sebagaimana oleh Masyarakat Sangir
Talaud, NTT/NTB danKalimantan dan masih banyak lagi suku lain di
Nusantara ini yang menggunakan nama mereka dengan kata depan La/Wa.
Bukti tersebut dapat dilihat daripenggunaan marga dari tiap
keluarga, kisah (epik) sejarah, makam leluhur dll.
- Hal yang unik lagi nama La/Wa khususnya kata depan
La juga digunakan sebagaian orang yang berada di
Piliphina, Thailand bahkan orang-oarang di Italiadengan bukti yang sama
dengan point sebelumnya.
Dengan mencermati kondisi demikian
apakah hal yang spesifik dari kata La/Wa bagi orang Muna dan Buton???.
Kalau mereka dikaitkan dengan keagamaan yang mereka anut, mungkin saja
dapat digeneralisasi bahwa bagi yang beragama islam dapat disandangkan
kata La/Wa pada mereka, dan bagimana jika mereka tidak beraga islam ?.
oleh karena itu, terkait dengan penggunaan kata “La/Wa” yang masih
dikaitkan dengan asal para pengguna nama depan La (orang muna buton
saja+beragama islam), penulis menjustifikasikannya sebagai kerangka
berfikir yang tidak rasional.
- Pemaknaan kerangka berpikir dan pemahaman masyarakat dengan penggunaan nama depan La dan Wa dikaitkan dengan sumber asal katanya
Secara garis besar, ada dua pemikiran saudara saya di jazirah muna dan buton yang menjelaskan asal kata depan “La” sebagai berikut :
- Kata La diambil dari kalimat tauhid (sahadat) “ashadualLa Illallah illallah”,
- Kata La diambil dari kalimat tahlil “La Ilaha illallah”,
Sedangkan untuk kata Wa, mempunyai asal kata yang sama yakni dari kalima Wa ashadu anna muhammad darasullullah (sahadat rasul).
Berdasarkan penelusuran penulis, ungkapan
diatas lebih dominan berkembang dan sangat dipahami oleh saudara saya
di Jazirah Buton. Untuk mendudukan arah pemahaman yang lebih rasional,
penulis berupaya untuk berhati-hati menguraikannya.
- Secara individual (person) masing-masing orang berhak untuk
memahaminya sebagaimana hal di atas (hak pribadi). Kalau hal ini
berlaku, sangat berpotensi simbol kata La/wa dapat berasal dari kalimat
lain dengan pemahaman yang lain pula. Kondisi pemahaman tersebut secara
sosio kultural berpeluang terciptanya“konflik pemahaman”, manakala
masing-masing individu tidak mampu menjelaskan pemaknaan kata La yang dia pahami dengan sumber kata/kalimat rujukan yang berbeda ataupun simbol-simbol lain.
- Pemahaman secara berkelompok (kolektif), pemahaman kearah ini
dapat tercapai jika secara kolektif masyarakat ditiap wilayah atau di
wilayah yang lebih besar mempunyai pemahaman yang sama
terhadap kata “La” yang digunakannya sebagai bagian dari budaya mereka. Penelaahan informasi
tentang kata La menjadi kunci untuk menyeragamkan pemaknaan
kata “La”. Arahan penelaahan dalam pemaknaan yang bersifat mendasar (makna syariat) menjadi penting sekali dalam mentransfer aliran sejarah/budaya dalam masyarakat, sedangkan pemaknaan sufiisme (makna
lebih tinggi) seringkali membuat “multi kutup”pemaknaan. Multinya sudut
pandang mengakibatkan hilang/kaburnya jatidiri yang sebenarnya dan
manghasilkan hal yang sama dengan “Taklid buta”.
- Rana pemahaman yang fleksibel; dari dua sumber kalimat yang
dirujuk sebagai asal muasal kata La/Wa, bagi penulis menilai informasi
makna tersebut antara lain:
- Pemahaman bebas, merujuk asal sumber kata nama seseorang
dengan tidak melupakan esensi sang khaliq. Pada sisi lain penggunaan
kata (penggalan) kata akan berbeda makna jika kata itu bendiri sendiri
(etimologi), padahah agama islam sangat ketat dalam pembacan kita
suci (huruf arab) dengan hukum tajwidnya dll. Pemaknaan makna kata yang
diacu tersebut akan menghasilkan makna yang berbias.
- Pemahaman bebas bersyarat, yang penulis maksud adalah
penggunaan kata La/Wa tetap memasukkan esensi sang khaliq namun tidak
merujuk pada sumber kalimat tauhid. Pemaknaan ini artinya kata La/Wa
tidak berasal dari kalimat tauhid, mengingat adopsi katanya yang tidak
sepadan.
- Pemaknaan yang tegas, Kalau kita cermati secara detail, bahwa
penggunaan kata La/Wa jauh-jauh waktu telah digunakan sebelum siar
islam masuk ke Jazirah Muna dan Buton. Perhatikan nama-nama raja sebelum
penyiar islam masuk. Dengan demikian penulis ingin tekankan bahwa kata
depan nama (La/Wa) tidak dapat dipadankan atau sumber katanya dari
kalimat tauhid.
- Perkembangan sejarah dalam memahami penggunaan nama depan La dan Wa di Jazirah Muna/Buton
Untuk mahami fenomena diatas maka
dilakukan pendekatan sejarah, dari beberapa kajian tentang penggunaan
nama depan nama penduduk, memberi kesan yang sama bahwa sapaan
keakrabatan dengan penuh rasa hormat/takzim. Nilai-nilai tersebut
menjadi dasar penggunaan kata depan, baik yang bersifat sementara
ataupun bersifat tetap. Bersifat sementara seperti sapaan “Mas” bagi
orang dari Suku Jawa yang sebenarnya hanya sapaan (bukan nama aslinya),
sedangkan yang tetap seperti sapaan La/Wa (Muna dan Buton),
Cut/Tengku/Teuku (Aceh), Daeng/Andi (Makassar/Bugis).
Berdasarkan uraian sejarah dari
beberapa sumber maka secara umum sapaan La/Wa merupakan sapaan umum
sebagaimana dengan kata “Abu” untuk sapaan bagi anak orang–orang arab.
Lebih jauh lagi, kata depan La/Wa yang melekat pada nama mereka
menggambarkan bahwa mereka bagian dari pengaruh budayasuku daratan yang didominasi oleh pengaruh Kerajaan Majapahit.
Ini dapat terbukti pada akhir masa keemasan Kerajaan Majapahit, dimana
Pati Gajah Mada melakukan pelayaran ke wilayah timur. Panggilan La oleh
suku daratan merupakan panggilan untuk orang yang memiliki “kekuatan dan
atau kemampuan” sebagaimana layaknya seorang laki-laki/pemimpin. Untuk
panggilan kata “Wa” pada perempuan mempunyai makna yang
dilindungi/dipimpin atau sebutan bagi yang dilindungi oleh seorang
laki-laki (La) baik sebagai orang tuanya maupun sebagai pasangannya
(istri).
Pada bagian lain sapaan yang bermakna sama untuk suku pelaut menggunakan
kata depan “Si”, Sapaan yang melekat pada nama mereka banyak digunakan
oleh suku sama (suku bajo). Berdasarkan sejarah suku pelaut di negeri
ini didominasi oleh kerajaan Sriwijaya. Dengan uraian ini maka
terbayanglah karakter masyarakat yang mendiami jazirah Muna dan Buton
termasuk bagaimana proses imperium dua kerajaan besar tersebut termasuk
peletakaan budaya di negeri baru (simak nama para raja sebelum islam
masuk di jazirah muna/buton).
Keterkaitan sejarah dunia dalam
perkembangan budaya muna/buton mempunyai pengaruh yang cukup besar
meskipun terjadi secara tidak langsung. Hal tersebut bisa kita cermati
dengan penjelajahan samudera oleh bangsa spanyol dan portugis hingga
menghasilkan perjanjian toerdesiles (pembagian dunia) yang
ditandatangani di Pulau Moti (Maluku Utara).
Wilayah barat Maluku Utara
dikuasai oleh spanyol dan bagian timurnya oleh bangsa portugis, dari hal
tersebut maka budaya spanyol ikut mempengaruhi beberapa budaya
masyarakat di nusantara. Budaya tersebut terutana pada tatakrama
masyarakat yang berkembang dengan makin menancapnya ajaran agama hindu
dan budha di wilayah daratan yang lebih luas (Jawa, Sumatera, Kalimantan
dan Sulawesi).
Siar islam menjadi salah satu
penyebab keruntuhan kerajaan besar di nusantara dengan agama yang
berkembang saat itu. Runtuhnya kerajaan majapahit (jawa), sriwijaya
(Palembang) termasuk kerajaan Kutai (kalimantan), Gowa (makassar) dan
Bone (bone). Dalam masa keruntuhan kerajaan tersebut memungkinkan para
pemuka dan masyarakat dari kerajaan tersebut keluar mencari daerah baru
dengan membawa sistim sosial dari negeri asalnya (termasuk membawa Kata depan nama La/Wa).
Dampak keruntuhan kerajaan besar tersebut diatas menyebabkan berdiri
kerajaan/kesultanan islam di nusantara yang hampir bersamaan dengan
masuk belanda ke nusantara dalam menjajah negeri ini.
- Kenapa kata La dan Wa pada nama depan keturunan masyarakat Muna dan Buton masih digunakan???
Pada kenyataan sekarang telah banyak dari keturunan Orang Muna dan Buton tidak lagi menggunakan nama depan mereka dengan kata La/Wa, sedangkan kata depan dengan nama La/Wa + Ode makin
dimunculkan. Tendensi ini bagi penulis, merupakan pemahaman masyarakat
di jazirah Muna dan Buton tentang kata tersebut tidak dipahami secara
mendalam ataupun dalam pemahaman lain bermakna sakrar (memang sakrar)
dan cenderung “buta”.
Untuk hal diatas, terdapat makna bahwa kata La/Wa bukanlah satu kesatuan dari kalimat sahadat,
memang demikian yang penulis ingin penulis sampaikan tapi “Warisan
Majapihit”. Namun keberlanjutan penggunaan kata La/Wa bermakna lain
sejak siar islam masuk. Pengadopsian kata La/Wa oleh islam puncaknya
terjadi saat kata depan La/Wa bersambung dengan kata “ode”. Dengan
memasukkan kata “ode” tersebut maka makna kata La/Wa tidak bisa terlepas
dengan sendi kehidupan di jazirah Muna dan Buton sekaligus menghilangkan/memaksimalkan makna kata depan La/Wa sebagai warisan Majapahit (budaya baru suku daratan).
Bagian dari sendi kehidupan orang
Muna/Buton tersebut diartikan bahwa kata depan nama La/Wa+Ode adalah
pencitraan khusus bagi penyandangnya yang berasal dari kaum pengguna
kata La/Wa pada nama mereka. Khusus maksudnya mempunyai peran dan
fungsi khusus dalam tatanan masyarakat. Dari hal ini maka peran orang
yang bernama depan La/Wa mempunyai wewenang untuk mencabut nama orang
yang bernama depan La/Wa+ode.
Semoga pemahaman kita dengan makna kata La dan Wa yang lebih real membuat kita lebih bijak dan paham sekaligus
merasa bersama dengan kebersamaan yang utuh (Muna dan Buton) dalam
kespesifikasian yang heterogen. Marilah kita menghargai budaya kita
dengan tetap merasa bangga menjadi orang yang bernama depan La dan Wa.
Sumber: Salnuddin